Rakyu atau Akal Pikiran (Ijtihad)
0
komentar
Menurut kebahasaan, kata Ijtihad berasal dari bahasa arab “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh – sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh – sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur`an dan hadis dengan syarat – syarat tertentu.
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur`an dan hadis. Hadis yang dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berijtihad adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya : “ Apabila seorang hakim didalam menjatuhkan hukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ijtiadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim ).
Seorang muslim yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid adalah :
1. Memahami Al-Quran dan asbabun nuzul-nya (sebab – sebab turunnya ayat – ayat Al-Qur`an ), serta ayat – ayat nasikh ( yang menghapus hukum ) dan mansukh (yang dihapus).
2. Memahami hadis dan sebab-sebab munculnya hadis – hadis, serta memahami hadis – hadis nasikh dan mansukh.
3. Mempunyai kemampuan yang mendalam tentang bahasa arab.
4. Mengetahui tempat – tempat ijmak.
5. Mengetahui usul fikih.
6. Mengetahui maksud – maksud syariat.
7. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.
8. Bersifat adil dan taqwa.
Selain kedelapan persyaratan pokok tersebut beberapa ulama juga menambahkan tiga persyaratan lagi, yaitu :
1. Mendalami ilmu ushuluddin ( ilmu tentang akidah islam ).
2. Memahami ilmu mantik ( logika ).
3. Mengetahui cabang – cabang fikih.
Fungsi ijtihad adalah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil hukumnya secar pasti didalam Al-Quran dan hadis. Masalah - masalah yang sudah jelas hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya secara pasti di dalam Al-Qur`an dan hadis seperti kewajiban beriman kepada rukun iman yang enam, kewajiban melaksanakan rukun islam yang lima, maka masalah – masalah tersebut tidak boleh di ijtihadkan lagi. Ditinjau dari segi sejarah ijtihad, ijtihad telah dilakukan semenjak Rasulullah SAW masih hidup dan terus berlanjut setelah beliau wafat.
Bentuk bentuk ijtihad yang biasa digunakan oleh para mujtahid adalah :
- Ijma`, adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas suatu masalah yang berkaitan dengan syariat.
- Qiyas (Ra`yu), yaitu penetapan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya dengan memperhatikan kesamaan antara kedua hal itu.
- Istihab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang tellah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya suatu dalil, samapi ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
- Mashlahah Mursalah, yaitu kemaslahatan atau kebaikan yang tidak disinggung – singgung syara` untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
- Urf, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang baik dalam kata – kata atau perbuatan.
Beberapa fatwa Majelis Ulama Indonesia yang merupakan hasil ijtihad mereka, dimasa sekarang antara lain :
- Mengikuti natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
- Memakan daging kelinci hukumnya halal.
- Penulisan kitab Suci AL-Qur`an dengan huruf selain arab, karena mengikuti pendapat yang membolehkan, dan dianggap sangat perlu, harus dibatasi sekedar hajat dan ditulis disamping huruf arab aslinya.
- Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan ibadah haji hukumnya mubah (boleh) sedangkan untuk mencukupi puasa bulan ramadhan sebulan penuh hukumnya makruh. Tetapi bagi wanita yang sukar meng-qada puasanya pada hari lain , hukumnya mubah. Selain itu penggunaan pil anti haid selain untuk hal - hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.
- Vasektomi dan tubektomi termasuk usaha pemandulan, karena itu vasektomi dan tubektomi hukumnya haram.
- Seseorang yang semasa hidupnya berwasiat akan menghibahkan kornea matanya, sesudah wafatnya dengan diketahui dan disetujui dan disaksikan oleh ahli warisnya, wasiat itu dapat dilaksanakan dan harus dilakukan oleh ahli bedah.
Menurut ajaran Islam manusia dibekali Allah dengan berbagai perlengkapan yang sangat berharga antara lain akal, kehendak, dan kemampuan untuk berbicara. Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang buruk, antara kenyataan dengan khayalan. Dengan mempergunakan akalnya manusia akan selalu sadar dan dapat memilih jalan yang dilaluinya, membedakan mana yang mutlak mana yang nisbi. Karena manusia bebas menentukan pilihannya, ia dapat dimintai pertanggungan jawab mengenai segala perbuatannya dalam memilih sesuatu.
Perkataan al-’aqal dalam bahasa Arab berarti pikiran dan intelek. Di dalam bahasa Indonesia pengertian itu dijadikan kata majemuk akal pikiran. Perkataan akal dalam bahasa asalnya dipergunakan juga untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Akar kata ’aqal mengandung makna ikatan.
Sebagai sumber ajaran yang ketiga, kedudukan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat penting sekali dalam sistem ajaran Islam. Sumber ajaran Islam ini biasa disebut dengan istilah ar-ra’yu atau sering juga disebut ijtihad. Namun makna ijtihad sendiri sebenarnya adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat untuk mencari, menemukan dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau tidak terdapat patokannya di dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Ia merupakan suatu proses, karena itu ijtihad dapat dilakukan bersama-sama oleh beberapa orang (yang hasilnya menjadi ijma’ atau konsensus dan dapat pula dilakukan oleh orang tertentu yang hasilnya menjadi qiyas atau analogi).
Sebagai hasil ketekunan keilmuwan muslim mempelajari Al-Quran dan Al-Hadis (sebagai sumber utama agama dan ajaran Islam) dan kemampuan mereka mempergunakan akal pikiran atau rakyu melalui ijtihad, mereka telah berhasil menyusun berbagai ilmu dalam ajaran Islam seperti ilmu tauhid atau ilmu kalam yang (kini) sering disebut dengan istilah teologi, ilmu fikih, ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.
Di samping itu mereka juga telah berhasil menyusun norma-norma dan seperangkat penilaian mengenai perbuatan manusia dalam hidup dan kehidupan, baik dalam hidup pribadi maupun di dalam hidup kemasyarakatan. Sistem penilaian mengenai perbuatan manusia yang diciptakan oleh ilmuwan muslim itu, dalam kepustakaan Indonesia dikenal dengan nama al-khamsah (lima kategori penilaian, lima kaidah atau sering disebut juga lima hukum dalam Islam).
Menurut sistem al-ahkam al-khamsah ada lima kemungkinan penilaian mengenai benda dan perbuatan manusia. Penilaian itu menurut Hazairin mulai dari ja’iz atau mubah atau ibahah. Ja’iz adalah ukuran penilaian atau kaidah kesusilaan (akhlak) pribadi, sunat dan makruh adalah ukuran penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak) masyarakat, wajib dan haram adalah ukuran penilaian atau kaidah atau norma bagi lingkungan hukum duniawi. Kelima kaidah ini berlaku di dalam ruang lingkup keagamaan yang meliputi semua lingkungan itu. Pembagian ke alam ruang lingkup kesusilaan, baik pribadi maupun perseorangan. Ukuran penilaian tingkah laku ini dikenakan bagi perbuatan-perbutan yang sifatnya pribadi yang semata-mata diserahkan kepada pertimbangan dan kemauan orang itu sendiri untuk melakukannya.
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur`an dan hadis. Hadis yang dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berijtihad adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya : “ Apabila seorang hakim didalam menjatuhkan hukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ijtiadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim ).
Seorang muslim yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid adalah :
1. Memahami Al-Quran dan asbabun nuzul-nya (sebab – sebab turunnya ayat – ayat Al-Qur`an ), serta ayat – ayat nasikh ( yang menghapus hukum ) dan mansukh (yang dihapus).
2. Memahami hadis dan sebab-sebab munculnya hadis – hadis, serta memahami hadis – hadis nasikh dan mansukh.
3. Mempunyai kemampuan yang mendalam tentang bahasa arab.
4. Mengetahui tempat – tempat ijmak.
5. Mengetahui usul fikih.
6. Mengetahui maksud – maksud syariat.
7. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.
8. Bersifat adil dan taqwa.
Selain kedelapan persyaratan pokok tersebut beberapa ulama juga menambahkan tiga persyaratan lagi, yaitu :
1. Mendalami ilmu ushuluddin ( ilmu tentang akidah islam ).
2. Memahami ilmu mantik ( logika ).
3. Mengetahui cabang – cabang fikih.
Fungsi ijtihad adalah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil hukumnya secar pasti didalam Al-Quran dan hadis. Masalah - masalah yang sudah jelas hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya secara pasti di dalam Al-Qur`an dan hadis seperti kewajiban beriman kepada rukun iman yang enam, kewajiban melaksanakan rukun islam yang lima, maka masalah – masalah tersebut tidak boleh di ijtihadkan lagi. Ditinjau dari segi sejarah ijtihad, ijtihad telah dilakukan semenjak Rasulullah SAW masih hidup dan terus berlanjut setelah beliau wafat.
Bentuk bentuk ijtihad yang biasa digunakan oleh para mujtahid adalah :
- Ijma`, adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas suatu masalah yang berkaitan dengan syariat.
- Qiyas (Ra`yu), yaitu penetapan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya dengan memperhatikan kesamaan antara kedua hal itu.
- Istihab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang tellah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya suatu dalil, samapi ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
- Mashlahah Mursalah, yaitu kemaslahatan atau kebaikan yang tidak disinggung – singgung syara` untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
- Urf, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang baik dalam kata – kata atau perbuatan.
Beberapa fatwa Majelis Ulama Indonesia yang merupakan hasil ijtihad mereka, dimasa sekarang antara lain :
- Mengikuti natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
- Memakan daging kelinci hukumnya halal.
- Penulisan kitab Suci AL-Qur`an dengan huruf selain arab, karena mengikuti pendapat yang membolehkan, dan dianggap sangat perlu, harus dibatasi sekedar hajat dan ditulis disamping huruf arab aslinya.
- Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan ibadah haji hukumnya mubah (boleh) sedangkan untuk mencukupi puasa bulan ramadhan sebulan penuh hukumnya makruh. Tetapi bagi wanita yang sukar meng-qada puasanya pada hari lain , hukumnya mubah. Selain itu penggunaan pil anti haid selain untuk hal - hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.
- Vasektomi dan tubektomi termasuk usaha pemandulan, karena itu vasektomi dan tubektomi hukumnya haram.
- Seseorang yang semasa hidupnya berwasiat akan menghibahkan kornea matanya, sesudah wafatnya dengan diketahui dan disetujui dan disaksikan oleh ahli warisnya, wasiat itu dapat dilaksanakan dan harus dilakukan oleh ahli bedah.
Menurut ajaran Islam manusia dibekali Allah dengan berbagai perlengkapan yang sangat berharga antara lain akal, kehendak, dan kemampuan untuk berbicara. Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang buruk, antara kenyataan dengan khayalan. Dengan mempergunakan akalnya manusia akan selalu sadar dan dapat memilih jalan yang dilaluinya, membedakan mana yang mutlak mana yang nisbi. Karena manusia bebas menentukan pilihannya, ia dapat dimintai pertanggungan jawab mengenai segala perbuatannya dalam memilih sesuatu.
Perkataan al-’aqal dalam bahasa Arab berarti pikiran dan intelek. Di dalam bahasa Indonesia pengertian itu dijadikan kata majemuk akal pikiran. Perkataan akal dalam bahasa asalnya dipergunakan juga untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Akar kata ’aqal mengandung makna ikatan.
Sebagai sumber ajaran yang ketiga, kedudukan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat penting sekali dalam sistem ajaran Islam. Sumber ajaran Islam ini biasa disebut dengan istilah ar-ra’yu atau sering juga disebut ijtihad. Namun makna ijtihad sendiri sebenarnya adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat untuk mencari, menemukan dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau tidak terdapat patokannya di dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Ia merupakan suatu proses, karena itu ijtihad dapat dilakukan bersama-sama oleh beberapa orang (yang hasilnya menjadi ijma’ atau konsensus dan dapat pula dilakukan oleh orang tertentu yang hasilnya menjadi qiyas atau analogi).
Sebagai hasil ketekunan keilmuwan muslim mempelajari Al-Quran dan Al-Hadis (sebagai sumber utama agama dan ajaran Islam) dan kemampuan mereka mempergunakan akal pikiran atau rakyu melalui ijtihad, mereka telah berhasil menyusun berbagai ilmu dalam ajaran Islam seperti ilmu tauhid atau ilmu kalam yang (kini) sering disebut dengan istilah teologi, ilmu fikih, ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.
Di samping itu mereka juga telah berhasil menyusun norma-norma dan seperangkat penilaian mengenai perbuatan manusia dalam hidup dan kehidupan, baik dalam hidup pribadi maupun di dalam hidup kemasyarakatan. Sistem penilaian mengenai perbuatan manusia yang diciptakan oleh ilmuwan muslim itu, dalam kepustakaan Indonesia dikenal dengan nama al-khamsah (lima kategori penilaian, lima kaidah atau sering disebut juga lima hukum dalam Islam).
Menurut sistem al-ahkam al-khamsah ada lima kemungkinan penilaian mengenai benda dan perbuatan manusia. Penilaian itu menurut Hazairin mulai dari ja’iz atau mubah atau ibahah. Ja’iz adalah ukuran penilaian atau kaidah kesusilaan (akhlak) pribadi, sunat dan makruh adalah ukuran penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak) masyarakat, wajib dan haram adalah ukuran penilaian atau kaidah atau norma bagi lingkungan hukum duniawi. Kelima kaidah ini berlaku di dalam ruang lingkup keagamaan yang meliputi semua lingkungan itu. Pembagian ke alam ruang lingkup kesusilaan, baik pribadi maupun perseorangan. Ukuran penilaian tingkah laku ini dikenakan bagi perbuatan-perbutan yang sifatnya pribadi yang semata-mata diserahkan kepada pertimbangan dan kemauan orang itu sendiri untuk melakukannya.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Rakyu atau Akal Pikiran (Ijtihad)
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://chalouiss.blogspot.com/2012/09/rakyu-atau-akal-pikiran-ijtihad.html?m=0. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5